LAPORAN PRAKTIKUM
PRODUKSI TERNAK UNGGAS
Disusun oleh :
Kelompok 1
1.
Gregorius Agung Pradipto : 092199
2.
Gunanto :
102203
3.
Sri Sukarno : 102218
4.
M. Arif Rahman : 102205
5.
Titik Ningrum : 102202
6.
Agung Setyo Nugroho : 102207
7.
Edhi Wiyanto : 102206
8.
Chesar Wastu Nugroho : 102208
AKADEMI
PETERNAKAN BRAHMAPUTRA
YOGYAKARTA
2011
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatNya sehingga penulis bisa
menyelesaikan laporan praktikum “PRODUKSI TERNAK UNGGAS ”
Dalam
penyusunan laporan ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan penulis. Namun sebagai manusia biasa, penulis tidak luput dari
kesalahan dan kekhilafan baik dari segi tekhnik penulisan maupun tata bahasa.
Tetapi walaupun demikian penulis berusaha sebisa mungkin menyelesaikan laporan
ini meskipun tersusun sangat sederhana.
Kami
menyadari tanpa kerja sama antara
pembimbing dan penulis serta beberapa kerabat yang memberi berbagai
masukan yang bermanfaat bagi penulis demi tersusunnya praktikum ini. Untuk itu
penulis mengucapakan terima kasih kepada pihak diatas yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran
penyusunan laporan praktikum ini. Demikian semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Kami mengharapkan saran serta
kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun.
Halaman judul
Kata pengantar
Daftar Pustaka
Bab I Pendahuluan
1.1
Latar belakang
1.2 Tujuan
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1
Pengertian Broiler
2.2
Pemilihan Bibit(DOC)
2.3
Perkandangan
2.4
Spesifikasi Pakan
2.5
Vaksinasi
2.6
Faktor yang Mempengaruhi Pemenuhan Nutrien
2.7
Konversi Pakan
2.8 Periode Panen
Bab III Materi dan Metode
3.1
Materi
3.2 Metoda
Bab IV Hasil dan Pembahasan
4.1
Pemeliharaan Ayam Broiler
4.2
Bentuk dan Lokasi Kandang
4.3
Sanitasi dan Sterilisasi Kandang
4.4
Penambahan Sekam
4.5
Vaksinasi
4.6
Ransum dan Pemenuhan Nutrien
4.7
Konsumsi Ransum, Pertambahan Berat Badan, dan FCR
4.8 Analisis Usaha
Bab V Kesimpulan
Daftar pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
1. 1
Latar belakang
Ayam
pedaging merupakan jenis varietas unggul saat ini. Hal ini dikarenakan jenis
ayam ini mampu berproduksi 4X lebih cepat dibandingkan jenis ayam kampung. Ayam
ras ( ayam pedaging ) dapat dikembangkan secara tradisional maupun sacara
modern. Pengembangan tradisional yang dimaksud adalah denga pemeliharaan yang
dilakukan sebagai usaha sambilah tanpa memperhitungkan untung rugi dan dalam
pemeliharaannya tanpa menggunakan teknologi maju. Sedangkan pengembangan secara
modern merupakan sistem yang aspek
pemeliharaannya dilakukan secara intensif meliputi upaya seleksi dalam
pemilihan bibit ( DOC ), perkandangan, pakan, vaksin, dan ekonomi.
Sistem
pemeliharaan merupakan suatu aspek penting dalam pengembangan usaha ini. Karena
dengan pemeliharaan yang baik, pastilah tumbuh kembang ini akan jauh berbeda
dengan sistem pemeliharaan yang kurang baik. Perbedaan tersebut akan tampak
kelihatan dari hasil akhir ( output ) produksi yang dihasilkan.
Dalam
dunia bisnis, memperoleh keuntungan besar dalam waktu cepat merupakan target
utama bagi pengelola. Hal ini akan tercapai jika pengelola mampu memanajemen
seluruh aspek produksi seefisien mungkin.
1. 2
Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk menambah pengetahuan, pengalaman, dan wawasan dalam tatalaksana pemeliharaan ayam broiler, serta menerapkan ilmu yang diperoleh di perkuliahan dan belajar membekali diri dengan keterampilan untuk tujuan dunia kerja. Selain itu, tujuan praktikum ini yaitu untuk belajar bekerja sama, melatih sikap mandiri, bertanggung jawab, disiplin dan hidup bermasyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1
Pengetian Broiler
Broiler
adalah ayam pedaging yang dipelihara dengan tujuan pokok untuk dipotong pada
umur antara 6 sampai 8 minggu dengan berat hidup sekitar 2 kg ( Wartomo dan
astuti, 1993 ). Ayam broiler dipasarkan pada berat 1,3 sampai 1,6 kg per ekor
pada umur 5 sampai 6 minggu karena broiler yang terlalu besar susah dijual (
Rasyaf, 2009 ). Selanjutnya, ayam broiler tumbuh optimal pada temperatur
lingkungan 19 sampai 21 derajat celsius.
Ayam broiler
memiliki kelebihan dan kelemahan, kelebihannya adalah
dagingnya empuk, ukuran badan besar, bentuk dada
lebar, padat dan berisi,efisiensi terhadap pakan cukup tinggi, sebagian besar
dari pakan diubah menjadi daging dan pertambahan bobot badan sangat cepat
sedangkan kelemahannya adalah memerlukan pemeliharaan secara intensif dan
cermat, relatif lebih peka terhadap suatu infeksi penyakit dan sulit
beradaptasi(Murtidjo,1987). Pertumbuhan yang paling cepat terjadi sejak menetas
sampai umur 4-6 minggu, kemudian mengalami penurunan dan terhenti sampai
mencapai dewasa (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
2.2 Pemilihan bibit ( DOC )
DOC ini sebenarnya berasal dari singkatan
''Day Old Chick'', yang dapat diartikan sebagai anak ayam yang berumur 1 hari.
Bibit yang baik mempunyai kriteria sebagai berikut sehat dan aktif bergerak,
tubuh gemuk (bentuk tubuh bulat), bulu bersih dan kelihatan mengkilat, hidung
bersih, mata tajam dan bersih serta lubang kotoran (anus) bersih , berat badan 37 g, dan posisi dalam kelompok
menyebar. Kartasudjana dan
Suprijatna (2006) menambahkan bahwa
kualitas DOC yang dipelihara harus yang terbaik,
karena performa yang jelek
bukan saja dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan tetapi
juga oleh kualitas DOC
pada saat
diterima.
2.3 Perkandangan
Menurut
Zainal abidin (2002) kandang merupakan tempat hidup, tempat berproduksi, dan
berfungsi untuk melindungi ayam dari gangguan binatang buas, melindungi ayam
dari cuaca yang tidak bersahabat, membatasi ruang gerak ayam, menghindari
resiko kehilangan ayam, mempermudah pengawasan, pemberian pakan dan air minum,
serta pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.
Tipe
kandang ayam Broiler ada dua, yaitu bentuk panggung dan tanpa panggung
(litter). Tipe panggung lantai kandang lebih bersih karena kotoran langsung
jatuh ke tanah, tidak memerlukan alas kandang sehingga pengelolaan lebih
efisien, tetapi biaya pembuatan kandang lebih besar. Tipe litter lebih banyak
dipakai peternak, karena lebih mudah dibuat dan lebih murah.
Pada awal pemeliharaan, kandang ditutupi plastik untuk menjaga kehangatan,
sehingga energi yang diperoleh dari pakan seluruhnya untuk pertumbuhan, bukan
untuk produksi panas tubuh. Kepadatan kandang yang ideal untuk daerah tropis
seperti Indonesia adalah 8-10 ekor/m2, lebih dari angka tersebut, suhu kandang
cepat meningkat terutama siang hari pada umur dewasa yang menyebabkan konsumsi
pakan menurun, ayam cenderung banyak minum, stress, pertumbuhan terhambat dan
mudah terserang penyakit.
Lokasi kandang dekat dengan sumber air tetapi tidak
becek serta sarana transportasi mudah. Menurut Fadilah (2004), lokasi yang
dipilih untuk peternakan harus tersedia sumber air yang cukup, terutama pada
musim kemarau. Air merupakan kebutuhan mutlak untuk ayam karena kandungan air
dalam tubuh ayam bisa mencapai 70%. Jumlah air yang dikonsumsi ayam bergantung
pada jenis ayam, umur, jenis kelamin, berat badan ayam dan cuaca.
Kandang
dicuci dengan sprayer tekanan tinggi dari bagian atas, dinding dan tirai,
hingga lantai. Proses pencucian ini harus meliputi semua bagian jangan sampai
ada bagian yang terlewatkan serta menaburkan atau menyemprotkan kapur
tohor ke bagian dalam, lantai, dan sekeliling luar
kandang Fadilah (2004). Rasyaf (2008) menjelaskan lebih lanjut bahwa kandang
harus sudah dibersihkan dengan air bersih yang telah dicampur dengan pembunuh
kuman/desinfektan. Semua peralatan, termasuk tempat ransum dan tempat minum
2.4
Spesifikasi pakan
Pakan
merupakan 70% biaya pemeliharaan. Pakan yang diberikan harus memberikan zat
pakan (nutrisi) yang dibutuhkan ayam, yaitu karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan mineral, sehingga pertambahan berat badan perhari (Average Daily
Gain/ADG) tinggi. Pemberian pakan dengan sistem ad libitum (selalu
tersedia/tidak dibatasi).
Kandungan nutrien
masing-masing bahan penyusun ransum perlu diketahui sehingga tujuan penyusunan
ransum dan kebutuhan nutrien untuk setiap
periode pemeliharaan dapat tercapai (Wahju,1992).
Penyusunan ransum ayam pedaging memerlukan informasi mengenai kandungan nutrien
dari bahan-bahan penyusun sehingga dapat mencukupi kebutuhan nutrien dalam
jumlah dan persentase yang diinginkan (Amrullah, 2004). Nutrien tersebut adalah
energi, protein, serat kasar, kalsium (Ca) dan fosfor (P).
Sumber
energi utama yang terdapat ransum ayam broiler adalah karbohidrat dan lemak.
Energi metabolisme yang diperlukan ayam berbeda, sesuai
tingkat umurnya, jenis kelamin dan cuaca. Semakin tua
ayam membutuhkan energi metabolisme lebih tinggi (Fadilah, 2004). Menurut Wahju
(1992), energi yang dikonsumsi oleh ayam digunakan untuk pertumbuhan jaringan
tubuh, produksi, menyelenggarakan aktivitas fisik dan mempertahankan temperatur
tubuh yang normal. Fadilah (2004) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk ayam
broiler periode starter 3080 kkal/kg ransum pada tingkat protein 24%, sedangkan
periode finisher 3190 kkal/kg ransum pada tingkat protein 21%. Angka
kebutuhan energi yang absolut tidak ada karena ayam
dapat menyesuaikan jumlah
rasnsum yang dikonsumsi dengan kebutuhan energi bagi
tubuhnya (Rizal, 2006).
Menurut Fadilah (2004), kandungan protein dalam ransum
untuk ayam broiler umur 1-14 hari adalah 24% dan untuk umur 14-39 hari adalah
21%. Kebutuhan protein untuk ayam yang sedang bertumbuh relatif lebih tinggi
karena untuk memenuhi tiga macam kebutuhan yaitu untuk pertumbuhan jaringan,
hidup pokok dan pertumbuhan bulu (Wahju, 1992). Rasyaf (1992) menyatakan bahwa
kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan kebutuhan protein yang
mempunyai peranan penting pada pertumbuhan ayam broiler selama masa pertumbuhan.
Siregar dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa penggunaan
serat kasar dalam ransum ayam adalah sebesar 5%. Menurut Wahju (1992),
persentase serat kasar yang dapat dicerna oleh ternak ayam sangat bervariasi.
Efeknya terhadap penggunaan energi sangat kompleks. Serat kasar yang tidak
tercerna dapat membawa nutrien lain yang keluar bersama feses. Anggorodi (1994)
menambahkan bahwa kesanggupan ternak dalam mencerna serat kasar tergantung dari
jenis alat pencernaan yang dimiliki oleh ternak tersebut dan tergantung pula
dari mikroorganisme yang terdapat dalam alat pencernaan. Ternak ayam tidak
dapat memanfaatkan serat kasar sebagai sumber energi. Serat kasar ini masih
dibutuhkan dalam jumlah kecil oleh unggas yang berperan sebagi bulky,
yaitu untuk memperlancar pengeluaran feses (Rizal, 2006). Siregar dan Sabrani
(1970)menambahkan, serat kasar yang berlebihan akan mengurangi efisiensi
penggunaan nutrien-nutrien lainnya, sebaliknya apabila serat kasar yang
terkandung dalam ransum terlalu rendah, maka hal ini juga membuat ransum tidak
dapat dicerna dengan baik.
Kebutuhan
anak ayam (starter) akan kalsium (Ca) adalah 1% dan ayam sedang tumbuh adalah
0,6%, sedangkan kebutuhan ayam akan fosfor (P) bervariasi dari 0,2-0,45% dalam
ransum (Rizal, 2006). Murtidjo (1987) menambahkan bahwa ransum ternak unggas
perlu mengandung mineral Ca dan P dalam jumlah yang cukup. Peranan Ca dalam
tubuh ternak unggas tercermin jelas bahwa 70-80% tulang ternak terdiri atas Ca
dan P. Siregar dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa Ca dan P adalah mineral
esensial, dan keduanya saling berhubungan erat dalam proses biologis ternak
ayam. Rasyaf (1994) menambahkan bahwa nisbah Ca dan P antara 1:1 - 2:1. Apabila
nisbahnya tidak tepat selanjutnya dapat mempengaruhi penyerapannya.
2.5 Vaksinasi
Vaksinasi adalah
pemasukan bibit penyakit yang dilemahkan ke tubuh ayam untuk menimbulkan
kekebalan alami.Vaksin dibagi menjadi dua yaitu vaksin aktif adalah vaksin yang
mengandung virus hidup. Kekebalan yang ditimbulkan lebih lama daripada vaksin
inaktif atau pasif.
Vaksin inaktif adalah vaksin yang mengandung
virus yang telah dilemahkan atau dimatikan tanpa merubah stuktur antigenik,
hingga mampu membentuk zat kebal. Kekebalan yang ditimbulkan lebih pendek,
tetapi keuntungannya dapat disuntikan pada ayam yang diduga sakit. Adapun
persyaratan dalam vaksinasi, ayam harus sehat, dosis dan kemasan vaksin harus
cepat, sterilisasi alat alat, lebih efektif
dilakukan pagi hari. Vaksinasi yang penting pada ayam broiler yaitu
vaksinasi ND/tetelo. Disebabkan virus
Paramyxo yang bersifat menggumpalkan sel darah. Gejalanya ayam sering
megap-megap, nafsu makan turun, diare dan senang berkumpul pada tempat yang
hangat. Setelah 1 - 2 hari muncul gejala syaraf, yaitu kaki lumpuh, leher
berpuntir dan ayam berputar-putar yang akhirnya mati. Ayam yang terserang
secepatnya dipisah, karena mudah menularkan kepada ayam lain melalui kotoran
dan pernafasan. Belum ada obat yang dapat menyembuhkan, maka untuk mengurangi
kematian, ayam yang masih sehat divaksin ulang dan dijaga agar lantai kandang
tetap kering. Dilaksanakan pada umur 4 hari dengan metode tetes mata. Dengan
vaksin ND strain B1 dan pada umur 21 hari dengan vaksin ND Lasotta melalui
suntikan atau air minum.
2.6
Faktor yang mempengaruhi pemenuhan nutrien
Program pemberian ransum sangat tergantung terhadap
rencana ayam itu dipanen, jika ayam yang akan dipanen berukuran kecil sampai
sedang, pemberian ransum menggunakan program dua jenis ransum. Tepung (mash)
biasanya diberikan pada anak ayam hingga ayam berumur 2 minggu. Butiran atau
remah (crumble) merupakan jenis ransum yang umum digunakan oleh peternak
untuk ayam broiler (Fadilah, 2004).
Menurut
Amrullah (2004), semakin mendekati waktu panen, konsumsi energi tersedia
dilebihkan sehingga ayam dapat menyimpan padatan lemah bawah kulit dan rongga
perutnya. Murtidjo (1987) menambahkan, tinggi atau rendahnya kadar energi
metabolis dalam ransum ayam broiler, akan memmpengaruhi banyak
sedikitnya ayam
broiler mengkonsumsi ransum.
Rasio
energi-protein ayam broiler akan bertambah sejalan dengan bertambahnya umur
ayam. Keadaan ini disebabkan karena semakin tua umur ayam, maka kebutuhan
energinya akan lebih banyak, sedangkan kebutuhan proteinnya lebih sedikit.
Kebutuhan protein berdasarkan berat badan ayam akan berkurang sejalan dengan
bertambahnya umur ayam (Fadilah, 2004). Amrullah (2004) menyatakan bahwa
tingkat rasio energi-protein yang lebih tinggi dari kebutuhan dapat membentuk
lemak selama akhir pemeliharaan.
Frekuensi
atau waktu pemberian ransum pada anak ayam biasanya lebih sering, sampai 5 kali
sehari dan semakin tua ayam frekuensi pemberian ransum semakin berkurang sampai
dua atau tiga kali sehari. Namun, yang perlu mendapat perhatian dari segi waktu
ini adalah ketepatan waktu pemberian ransum setiap harinya perlu dipertahankan
karena pemberian ransum pada waktu yang tidak tepat setiap hari dapat
menurunkan produksi (Rizal, 2006). Ransum juga dapat diberikan dengan cara
terbatas pada waktu-waktu tertentu dan disesuaikan dengan
kebutuhan ayam, misalnya pagi dan sore. Saat diberikan
biasanya ayam dalam keadaan lapar sehingga ransum tidak banyak terbuang (Sudaro
dan Siriwa, 2007).
2.7 Konversi pakan
Konversi pakan
bermanfaat untuk mengukur produktivitas dan didefenisikan sebagai rasio
di antara konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh selama
kurun waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan persatuan berat
(Lacy & Vest, 2000). Pada minggu ke-0 belum didapat data mengenai konversi
pakan karena belum ada data pertambahan bobot badan yang didapat dari bobot
badan kedua dikurangi bobot badan pertama. Sehingga kita belum mengetahui
konversi pakan minggu ke-0. Pada minggu ke-1 sudah didapat data mengenai bobot
badan 1 dan 2 sehingga dapat dicari PBBnya sebesar 16,73 g/ekor/hari. Sedangkan
konsumsi minggu ke-1 sebesar 18,09 g/ekor/hari. Sehingga konversi pakan minggu
pertama didapat dari konsumsi dibagi Pbb sebesar 1,08. Hasil konversi pakan
pada minggu ke-1 menurut NRC sebesar 0,91 tetapi pada kenyataannya angka
konversi yang dihitung melebihi dari standar NRC. Pada minggu ke-2 Pbb sebesar
37,14 g/ekor/hari sedangkan konsumsinya sebesar 62,65 g/ekor/hari, sehingga
konversi pakan yang didapat sebesar 1,69. Sama halnya dengan konversi minggu
ke-2 berdasarkan NRC sebesar 1,15 sedangkan pada kenyataannya konversi yang
dihitung melebihi NRC. Semakin tinggi nilai konversi pakan dibandingkan NRC
berarti banyaknya pakan yang dikonsumsi tidak semuanya berubah menjadi daging.
Menurut Lacy dan Vest (2000) faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum
adalah genetik, temperatur, ventilasi, sanitasi, kualitas air, pengafkiran,
penyakit, dan pengobatan serta manejemen pemeliharaan. Selain itu faktor
pemberian pakan, penerangan, dan factor sosial turut mempengaruhi konsumsi
ransum.
2.8 Periode
panen
Jadwal pertama panen biasanya telah
ditentukan ketika ayan akan dipelihara (Fadilah, 2005). Selanjutmya, ayam yang
akan dipanen harus dikurangi pakannya atau dipuasakan (tidak diberi makan)
selama 4 sampai 6 jam sebelum ditangkap agar sisa pakan tidak terlalu banyak
(tembolok ayam tidak penuh). Tembolok ayam yang penuh tidak disukai rumah
potong ayam (RPA). Ayam harus bebas antibiotik 5 hari hingga 2 minggu sebelum
panen tergantung jenis antibiotik.
Jumlah dan ukuran ayam yang akan ditangkap
harus sesuai surat permintaan (delivery order) (Fadilah, 2005). Selanjutnya,
berat ayam biasanya diklasifikasikan menjadi ukuran kecil (0,8-1,2 kg), sedang
(1,3-1,6 kg), besar (lebih dari 1,7 kg). Ayam yang dijual ke RPA harus
ditimbang bersama keranjangnya untuk menghindari banyak ayam yang rusak.
Timbangan yang dipakai berupa timbangan duduk kapasitas 50 kg. Ayam yang akan
ditimbang dimasukan ke keranjang plastik standar (7,8 kg). Kapasitas 1
keranjang bisa diisi 12-15 ekor ayam ukuran kecil atau 8-10 ekor ayam ukuran
sedang dan besar. Hasil penimbangan ayam yang ditangkap dicatat secara benar
dan jelas pada nota penimbangan.
Kegiatan
yang dilakukan pasca panen adalah mengumpulkan peralatan kandang, membersihkan,
menghitung pakan yang tersisa, dan menghitung presentasi produksi ayam
(Fadilah, 2005). Selanjutnya, peersentasi kematian (deplesi) dapat dihitung :
jumlah ayam awal dikurangi jumlah ayam yang dijual dikalikan 100 % kemudian
dibagi jumlah ayam awal, rerata berat ayam yang dijual dapat dihitung : total
berat ayam yang dijual dibagi dengan total ayam yang dijual, konversi pakan
(FCR) dapat dihitung : total pakan yang diberikan dikurangi total pakan sisa
dibagi dengan total berat ayam yang dijual, dan rerata umur panen dapat dihitung : umur
ayam yang dipanen dikalikan dengan jumlah ayam yang dijual dibagi dengan total
ayam yang dijual
BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum
produksi ternak unggas ini dilaksanakan
pada tanggal 20 oktober 2011 sampai dengan tanggal 23 novenber 2011 selama 30
hari sampai masa panen, bertempat di kandang ternak unggas akademi peternakan
brahmapurta.
3.1 Materi
Adapun
alat alat yang digunakan dalam praktikum produksi ternak unggas ini adalah satu
kandang ayam potong bertipe panggung semi tertutup, satu gulung lingkar pemanas
doc, empat karung sekam, tujuh meter kabel, empat buah saklar gantung, dua buah
bolam 40 watt, dua buah bolam 100 watt, satu bolam 15 watt, satu liter
formalin, lima meter tali tambang kecil, satu gulung kawat, enam buah tempat
minum manual, emapt buah tempat pakan manual, empat buah tempat minum otomatis,
empat buah tempat makan gantung, delapan meter selang air, adapun bahan bahan
yang digunakan antara lain, satu box doc isi 100 ekor tipe cp 707 produksi PT
charoen pokhphand, tiga karung broiler I
(br-I) masing masing karung isi 50 kg, satu karung broiler II( br-II) isi 50 kg
produksi PT japfa comfeed Indonesia, seperempat kilogram gula merah, vaksin ND”Medion”,
vaksin gumboro” Medion”, vita sterss”Medion”, vita chick”Medion”, therapy”Medion”,
vita bro, neobro, vaksin ND lasota”Medion”.
3.2 Metoda
Dalam praktikum ini data diambil dari partisifasi aktif sehari hari dikandang praktek yang meliputi menimbang bobot badan, memberikan ransum dan air minum untuk ayam, menyiapkan pemanas untuk anak ayam, melakukan vaksinasi, penaburan sekam yang baru, mencatat kandungan nutrien yang terkandung dalam ransum, jumlah ayam yang dipelihara. Konsumsi ransum diperoleh sesuai dengan pemberian karena ransum yang diberikan selalu habis. Pertambahan bobot badan diperoleh dari bobot badan akhir dikurangi dengan bobot badan awal yang diamati tiap minggu, serta analisis usaha.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pemeliharan ayam broiler
Pemeliharaan ayam broiler meliputi pemilihan bibit,
perkandangan, pemeliharaan, pencegahan penyakit dan pola pemberian ransum.
Bibit ayam broiler yang dipelihara dipeternakan tersebut berupa anak ayam umur
sehari (DOC) strain Cobb yang berasal dari PT. Charoend Pokphand dengan
bobot badan awal rata-rata 35 g/ekor. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat
Fadilah (2004) yang menyatakan bahwa kegiatan pertama yang harus dilakukan
ketika DOC datang adalah memperhatikan dan memeriksa keadaan DOC secara
keseluruhan, baik kualitas maupun kuantitasnya. DOC yang berkualitas baik
antara lain mempunyai ciri kakinya besar dan basah seperti berminyak, bulu
cerah dan penuh, DOC terlihat aktif dan beratnya tidak kurang dari 37 g.
Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menambahkan bahwa kualitas DOC yang dipelihara
harus yang terbaik, karena performa yang jelek bukan saja dipengaruhi oleh
faktor pemeliharaan tetapi juga oleh kualitas DOC pada saat diterima.
4.2
Bentuk dan lokasi kandang
Kandang ayam yang digunakan dalam praktikum ini berupa kandang panggung dengan alas
terbuat dari bilah bambu yang lapisi dengan sekam yang sering disebut dengan
kandang litter sehingga lantai kandang tidak menyebabkan kaki terluka akibat
terjepit bilah bambu dan kaki tidak mengeras. Suprijatna et al. (2005)
menyatakan bahwa kandang dengan tipe litter pengelolaannya lebih mudah dan
praktis, hemat tenaga dan waktu, lantai kandang relatif tahan lama, lantai
tidak mengakibatkan telapak kaki ayam terluka, dan mengeras serta litter
merupakan media yang baik untuk mencakar-cakar debu atau mandi debu yang
memberikan kenyamanan bagi ayam. Lokasi kandang dekat dengan sumber air tetapi
tidak becek serta sarana transportasi mudah. Menurut Fadilah (2004), lokasi yang dipilih untuk peternakan harus
tersedia sumber air yang cukup, terutama pada musim kemarau. Air merupakan
kebutuhan mutlak untuk ayam karena kandungan air dalam tubuh ayam bisa mencapai
70%. Jumlah air yang dikonsumsi ayam bergantung pada jenis ayam, umur, jenis
kelamin, berat badan ayam dan cuaca.
4.3
Sanitasi dan sterilisasi kandang
Sanitasi
dilakukan sebelum dan sesudah pemeliharaan yaitu pada saat kandang kosong
selama 2-3 minggu yaitu meliputi pembersihan lantai kandang, dinding dan atap
kandang, pengapuran kandang, penyemprotan kandang dengan desinfektan, serta pencucian
tempat ransum dan minum. Pengapuran dan desinfektan kandang dengan menggunakan
formalin dilakukan satu minggu sebelum DOC tiba. Usaha pencegahan penyakit yang
lain adalah senantiasa menjaga kebersihan kandang dan peralatannya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Rasyaf (2008) yang menyatakan bahwa kandang harus sudah
dibersihkan dengan
air bersih yang telah dicampur dengan pembunuh kuman
atau desinfektan. Semua peralatan, termasuk tempat ransum dan tempat minum.
Fadilah (2004) menjelaskan lebih lanjut, mencuci kandang dengan sprayer tekanan
tinggi dari bagian atas, dinding dan tirai, hingga lantai. Proses pencucian ini
harus meliputi semua bagian jangan sampai ada bagian yang terlewatkan serta
menaburkan atau menyemprotkan kapur tohor ke bagian dalam, lantai, dan
sekeliling luar kandang.
4.4
Penambahan sekam
Penambahan
sekam baru dilakukan ketika sekam tersebut dirasa sudah lembab, bertujuan untuk
mengurangi gas NH3 yang ditimbulkan dari kelembaban yang berlebihan karena gas
NH3 dapat mengganggu pernafasan, produktivitas dan
konsumsi ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat
Fadilah (2004), bahwa jenis litter yang sering digunakan adalah sekam dan serbuk
gergaji. Litter harus selalu dijaga agar tetap kering dan bersih. Litter yang
basah dapat meningkatkan kandungan amonia, menjadi tempat berkembang biak
berbagai penyakit, dan menyebabkan bulu kotor. Rasyaf (2008) menyatakan bahwa
litter apapun yang digunakan tidak terlepas dari faktor basah penggumpalan
sehingga mudah membuat kandang menjadi lembab, sumpek, dan mengundang penyakit.
4.5
Vaksinasi
Pencegahan
penyakit dilakukan dengan pemberian vaksin yaitu ND B1 diberikan pada umur 2
hari dengan dosis 2 tetes per ekor dilakukan pada kedua mata dan hari ke 18 dilakukan
vaksin ND Lasota dengan dicampur air minum untuk mencegah penyakit ND (Newcastle
disease) atau sering disebut dengan tetelo. Hal ini tidak sesuai
dengan pendapat Fadilah (2004) yang menyatakan bahwa vaksin ND diberikan
pada ayam umur 4 hari yaitu dengan suntik lansung (subcutan) dan
dengan tetes mata. Vaksin gumboro (IBD) juga diberikan pada ayam umur 12
hari dengan mencampurkan pada air minum. Menurut Rasyaf (2008),
vaksinasi gumboro (IBD) dilakukan pada saat anak ayam berumur 7-9 hari,
yakni melalui pemberian air minum. Selain vaksinasi juga dilakukan
pencegahan dengan pemberian vitamin pada air minumanya yaitu dengan vitachick
bertujuan untuk mengurangi steres, therapy bertujuan untuk mencegah penyakit
kolera, pullorum, CDR, korisa dan membantu pembentukan tulang serta merangsang
pertumbuhan, dan neobro bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ayam,
mengurangi angka kematian, dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan.
4.6 Ransum dan pemenuhan nutrien
Ransum
yang diberikan pada ternak adalah broiler I dan broiler II, ransum pabrikan ini
berbentuk butiran (crumble). Menurut Fadilah (2004), program pemberian
ransum sangat tergantung terhadap rencana ayam itu dipanen, jika ayam yang akan
dipanen berukuran kecil sampai sedang, pemberian ransum menggunakan program dua
jenis ransum.
Tabel
1. Kandungan nurtisi ransum
NUTRIEN RANSUM |
Ransum( starter-finisher) comfeed |
Standar(starter-finisher) |
||
|
|
Minggu I-IV |
||
Em ransum (Kkal/kg) |
|
3200,[Rasyaf(1994)] |
||
Protein ( %) |
|
22,[ Siregar dan Sabrani (1970)] |
||
Serat kasar (%) |
|
5, [Siregar dan Sabrani (1970)] |
||
Ca (%) |
|
1,0 [ Siregar dan Sabrani (1970)] |
||
P (%) |
|
0,6 [ Siregar dan Sabrani (1970)] |
Berdasarkan
Tabel 1 dapat diketahui bahwa kandungan protein, serat kasar, Ca dan P dari
ransum yang diberikan dapat dinyatakan memenuhi standar kebutuhan yang
ditetapkan. Energi metabolis minggu I sampai IV dengan rata rata Br-I 2900-3100
Kkal/kg dan Br-II 3000-3200 Kkal/kg. Berdasarkan standar yang tercantum dalam
tabel sesuai. Fadilah (2004) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk ayam
broiler periode starter 3080 kkal/kg ransum pada tingkat protein 24%, sedangkan
periode finisher 3190 kkal/kg ransum pada tingkat protein 21%. Angka kebutuhan
energi yang absolut tidak ada karena ayam dapat menyesuaikan jumlah ransum yang
dikonsumsi dengan kebutuhan energi bagi tubuhnya (Rizal, 2006).
Protein
ransum yang digunakan pada rata rata minggu I sampai IV untuk Br-I 21-23 % dan
Br-II 19-21 %. Hak ini sesui dengan tabel 1. Menurut Fadilah (2004), kandungan
protein dalam ransum untuk ayam broiler umur 1-14 hari adalah 24% dan untuk
umur 14-39 hari adalah 21%. Kebutuhan protein untuk ayam yang sedang tumbuh
relatif lebih tinggi karena untuk memenuhi tiga macam
kebutuhan yaitu untuk pertumbuhan jaringan, hidup
pokok dan pertumbuhan bulu
(Wahju, 1992). Kebutuhan protein didapat dengan
menghitung antara protein yang dibutuhkan untuk hidup pokok, pertumbuhan
jaringan dan pertumbuhan bulu. Kekurangan konsumsi protein tidak menjadi masalah karena
diimbangi dengan konsumsi energi yang tinggi
sehingga tercapai rasio keseimbangan energi protein
memadai dengan efeknya yang terlihat pada pertambahan bobot badan yang tinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Rayaf (1992) yang menyatakan bahwa kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan
kebutuhan protein, yang mempunyai peranan
penting pada pertumbuhan ayam broiler selama masa pertumbuhan. Kebutuhan
protein berdasarkan bobot badan ayam akan berkurang sejalan dengan bertambahnya
umur ayam (Fadilah, 2004). Amrullah (2004) menyatakan bahwa tingkat rasio
energi protein yang lebih tinggi dari kebutuhan mengakibatkan penggunaan energi
tidak efisien karena dapat dibentuk lemak pada
akhir pemeliharaan.
Anggorodi
(1994) menyatakan bahwa kesanggupan ternak dalam mencerna
serat kasar tergantung dari jenis alat pencernaan yang dimiliki oleh ternak tersebut dan tergantung pula dari
mikroorganisme yang terdapat dalam alat
pencernaan. Presentase serat kasar yang dapat dicerna
oleh ternak ayam sangat bervariasi. Efeknya terhadap penggunaan energi sangat
kompleks. Serat kasar yang tidak tercerna dapat membawa nutrien lain yang
keluar bersama ekskreta. (Wahju, 1992). Kandungan serat kasar dalam ransum yang
diberikan pada ayam broiler di kandang
selama satu periode sebesar 3-5% (Tabel 1). Ayam mempunyai keterbatasan
mencerna serat kasar karena tidak mempunyai enzim selulase sehingga kandungan
serat kasar pada kandang tidak menjadi masalah karena sesuai kebutuhan yaitu
5%. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar dan Sabrani (1970) yang menyatakan
bahwa penggunaan serat kasar dalam ransum ayam adalah sebesar 5%.
Siregar
dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa serat kasar yang berlebihan dapat
mengurangi efisiensi penggunaan nutrien lain, sebaliknya apabila serat kasar
ransum terlalu rendah, mengakibatkan ransum tidak dapat dicerna dengan baik.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa konsumsi serat kasar telah sesuai
dengan standar kebutuhan. Serat kasar masih dibutuhkan dalam jumlah kecil oleh
unggas yang berperanan sebagi bulky, yaitu untuk memperlancar
pengeluaran ekskreta (Rizal, 2006).
Kandungan
unsur kalsium (Ca) dan fosfor (P) yang terdapat dalam ransum
ayam broiler dari minggu pertama hingga minggu pertama
hingga minggu keempat adalah 0,9% dan 0,6%. Nilai ini dapat dinyatakan sesuai
dengan pendapat Rizal (2006) yang melaporkan bahwa kebutuhan anak ayam (starter)
akan Ca adalah 1% dan ayam sedang tumbuh adalah 0,6%, sedangkan kebutuhan ayam
akan P bervariasi dari 0,2-0,45%. Murtidjo (1987) menambahkan bahwa ransum
ternak unggas perlu mengandung mineral Ca dan P dalam jumlah yang cukup.
Peranan Ca dalam tubuh ternak unggas tercermin jelas bahwa 70-80% tulang ternak
terdiri atas Ca dan P. Tabel tersebut diatas menuunjukkan bahwa konsumsi Ca
sudah memenuhi standar kebutuhan sedangkan konsumsi P sesuai dengan kebutuhan.
Siregar dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa Ca dan P adalah mineral esensial,
dan keduanya saling berhubungan erat dalam proses biologis ternak ayam. Menurut
Rasyaf (1994), bahwa nisbah kalsium dan fosfor antara 1:1 - 2:1. Apabila nisbahnya
tidak tepat selanjutnya dapat mempengaruhi penyerapan.
4.7
Konsumsi ransum, pertambahan berat badan, dan FCR
Ransum
yang diberikan berupa ransum jadi yaitu broiler-I dan broiler-II yang berbentuk
butiran berasal dari PT. Japfa Comfeed Indonesia. Ransum broiler-I diberikan
pada periode starter minggu pertama, sedangkan untuk minggu ketiga diberikan
ransum broiler-II. Penggantian pemberian ransum ini secara bertahap melalui
pencampuran dengan ransum sebelumnya(broiler-I). Hal ini dilakukan supaya ayam
tidak kaget terhadap penggantian ransum dan tidak terjadi penurunan konsumsi
yang dikhawatirkan dapat menghambat laju pertumbuhan ayam. Menurut Sudaro dan
Siriwa (2007), pemberian ransum dapat dilakukan dengan cara bebas maupun
terbatas. Cara bebas, ransum disediakan ditempat ransum sepanjang waktu agar
saat ayam ingin makan ransumnya selalu tersedia. Cara ini ransum biasanya
disajikan dalam bentuk kering, baik tepung, butiran, maupun pelet. Penggantian ransum
starter dengan ransum finisher sebaiknya tidak dilakukan
sekaligus, tetapi secara bertahap.
Pemberian
ransum pada minggu pertama sebanyak delapan kali dalam sehari dan
berangsur-angsur berkurang hingga minggu keempat yaitu dua kali dalam sehari.
Frekuensi pemberian ransum tersebut sudah baik, menurut Rizal (2006), pada anak
ayam biasanya frekuensi atau waktu pemberian ransum lebihsering, sampai 5 kali
sehari dan semakin tua ayam frekuensi pemberian ransum semakin berkurang sampai
dua atau tiga kali sehari. Hal yang perlu mendapat perhatian dari segi waktu
ini adalah ketepatan waktu pemberian ransum setiap harinya perlu dipertahankan
karena pemberian ransum pada waktu yang tidak tepat setiap hari dapat
menurunkan produksi. Ransum juga dapat diberikan dengan cara terbatas pada
waktu tertentu dan disesuaikan dengan kebutuhan ayam, misalnya pagi dan sore
(Sudaro dan Siriwa, 2007). Waktu pemberian ransum dipilih saat yang tepat dan
nyaman sehingga ayam dapat makan dengan baik dan tidak banyak ransum yang terbuang.
Semakin
bertambahnya umur, kualitas ransum terutama kandungan protein dapat diturunkan
namun tidak mengganggu konsumsi ransum. Menurut Rasyaf (1994), ransum merupakan
sumber utama kebutuhan nutrien ayam broiler untuk keperluan hidup pokok dan produksinya
karena tanpa ransum yang sesuai dengan yang dibutuhan menyebabkan produksi
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kartasudjana dan Suprijatna (2006)
menyatakan bahwa ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energi,
sebelum kebutuhan energinya terpenuhi ayam akan terus makan. Jika ayam diberi
ransum dengan kandungan energi rendah maka ayam makan lebih banyak. Dibawah ini
adalah (Tabel 2) data mengenai konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan
konversi pakan. (gram/ekor/minggu)
Praktikum |
Standar majalah Poultry |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
Tingkat
konsumsi yang tinggi pada minggu pertama dan rendahnya pertambahan bobot badan
tidak sesuai dengan standar. Ini dikarenakan nutrien yang masuk masih digunakan
untuk perkembangan organ pencernaan, belum untuk pembentukan daging sehingga
berpengaruh terhadap nilai konversi ransumnya. Berbeda dengan minggu kedua
hingga minggu keempat konsumsi lebih tinggi dan semakin meningkat jauh diatas
standar namun diiringi pula dengan pertambahan bobot badan yang tinggi. Kondisi
ini menyebabkan nilai konversi ransum sesuai dengan standar yang ada. Menurut
Kartasudjana dan Suprijatna (2006), konversi ransum didefinisikan sebagai
banyaknya ransum yang
dihabiskan untuk menghasilkan setiap kilogram
pertambahan bobot badan. Angka
konversi ransum yang kecil berarti banyaknya ransum
yang digunakan untuk menghasilkan satu kilogram daging semakin sedikit.
Pertumbuhan ayam pada minggu kedua mulai berjalan cepat karena organ pencernaan
sudah terbentuk, sehingga sebagian ransum yang dikonsumsi digunakan untuk
produksi. Hal ini juga berkaitan dengan rasio energi dan protein. Rasio energi
protein yang dikonsumsi lebih tinggi dari yang dibutuhkan dan tiap minggu
semakin meningkat, hal ini berarti bahwa energi yang tersedia dalam ransum
lebih tinggi. Fenomena tersebut sesuai dengan pendapat Fadilah (2004) yang
menyatakan bahwa konsumsi ransum setiap minggu bertambah sesuai dengan
pertambahan bobot badan. Setiap minggu ayam mengonsumsi ransum lebih banyak
dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Menurut Rasyaf (1994), konsumsi ransum
ayam broiler merupakan cermin dari masuknya sejumlah unsur nutrien kedalam
tubuh ayam. Jumlah yang masuk ini harus sesuai dengan yang dibuthkan
untuk produksi dan untuk hidupnya. Kartasudjana dan
Suprijatna (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan pada ayam broiler dimulai dengan
perlahanlahan
kemudian berlangsung cepat sampai dicapai pertumbuhan
maksimum setelah itu menurun kembali hingga akhirnya terhenti.
4.8
Analisis usaha
Tabel
1. Perhitungan produksi broiler
|
Uraian |
Jumlah |
Jumlah Biaya(Rp) |
1 |
DOC (ekor) |
100 |
235.000 |
2 |
Pakan (Kg) |
2000 |
1.028. 000 |
3 |
Obat dan vaksin |
|
117.000 |
4 |
Biaya operasional |
|
56.000 |
|
|
Total |
1.436.000 |
Tabel
2. Perhitungan laba rugi usaha ayam broiler komersial
|
Uraian |
Jumlah |
|
Pendapatan |
|
1. |
Penjualan Ayam |
1.779.000 |
|
Total pendapatan |
1.779.000 |
|
Biaya yang dikeluarakan |
|
1. |
DOC (ekor) |
235.000 |
2. |
Pakan (kg) |
1.028.000 |
3. |
Obat dan Vaksin |
117.000 |
|
Biaya Operasional |
56.000 |
|
Total biaya |
1.436.000 |
|
Laba Rugi kotor |
343.000 |
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan bahwa mahasiswa menggunakan DOC tipe cobb cp
707 produksi PT. Charoen
Phokpand Indonesia, pakan menggunakan broiler-I dan broiler-II produksi PT.
Japfa Comfeed, dipanen pada umur 30 hari dengan konversi pakan sebesar 1,56 dan
bobot akhir rata rata 1600gram, dengan harga jual 13.000/kg, tetapi kematian
mencapai 11% ini dikarenakan litter basah(tempat minum kurang tinggi) dan
tempat makan kurang sehingga ayam kelaparan.
Untuk
kandungan energi, protein, serat kasar, kalsium (Ca) dan fosfor (P) dapat
dinyatakan sudah memenuhi standar. Konsumsi ransum tinggi tetapi pertambahan
bobot badan juga tinggi sehingga angka konversi ransum tetap baik.
Daftar pustaka
Amrulah, Ibnu Katsir. 2004. Nutrien Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi.
Bogor
Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas
PT. Gramedia. Jakarta
Fadilah, R. 2004. Ayam Broiler Komersial. Agromedia
Pustaka. Jakarta
Kartasudjana, R dan Edjeng S. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar
Swadaya. Jakarta
Murtidjo, B.
A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius. Yogyakarta
Sudaro, Yani dan Anita Siriwa. 2007. Ransum Ayam dan Itik. Cetakan IX.
Penebar Swadaya. Jakarta
Suprijatna, E. Umiyati, A. Ruhyat, K. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas.
Penebar
Swadaya. Jakarta
Rasyaf, M. 1992. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius.
Yogyakarta
Rasyaf, M. 1994. Beternak Ayam Pedaging. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging.
Penebar Swadaya. Jakarta
Rizal, Yose. 2006. Ilmu Nutrien Unggas. Andalas
University Press. Padang
Siregar, A.P., dan M. Sabrani. 1970. Teknik Modern Beternak Ayam. C.V.
Yasaguna. Jakarta
Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrien Unggas. Cetakan III. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Poultry
Indonesia Edisi Online.2006. Standar performan mingguan CP broiler.
Majalah Poultry Indonesia. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar