Gregorius Agung Pradipto, S.Pt instagram : greg_pradipto

Rabu, 13 Januari 2021

 

LAPORAN PRAKTIKUM

PRODUKSI TERNAK UNGGAS

 

  



Disusun oleh :

Kelompok 1

1.      Gregorius Agung Pradipto           : 092199

2.      Gunanto                                        : 102203

3.      Sri Sukarno                                   : 102218

4.      M. Arif Rahman                            : 102205

5.      Titik Ningrum                               : 102202

6.      Agung Setyo Nugroho                  : 102207

7.      Edhi Wiyanto                                : 102206

8.      Chesar Wastu Nugroho                 : 102208

 

 

AKADEMI PETERNAKAN BRAHMAPUTRA

YOGYAKARTA

2011

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatNya sehingga penulis bisa menyelesaikan laporan praktikum “PRODUKSI TERNAK UNGGAS ”

Dalam penyusunan laporan ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis. Namun sebagai manusia biasa, penulis tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi tekhnik penulisan maupun tata bahasa. Tetapi walaupun demikian penulis berusaha sebisa mungkin menyelesaikan laporan ini meskipun tersusun sangat sederhana.

Kami menyadari tanpa kerja sama antara  pembimbing dan penulis serta beberapa kerabat yang memberi berbagai masukan yang bermanfaat bagi penulis demi tersusunnya praktikum ini. Untuk itu penulis mengucapakan terima kasih kepada pihak diatas yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran penyusunan laporan praktikum ini. Demikian semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Kami mengharapkan saran serta kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun.

 

 

 DAFTAR PUSTAKA

Halaman judul

Kata pengantar

Daftar Pustaka

Bab I Pendahuluan

1.1  Latar belakang

1.2  Tujuan

Bab II Tinjauan Pustaka

            2.1 Pengertian Broiler

            2.2 Pemilihan Bibit(DOC)

            2.3 Perkandangan

            2.4 Spesifikasi Pakan

            2.5 Vaksinasi

            2.6 Faktor yang Mempengaruhi Pemenuhan Nutrien

            2.7 Konversi Pakan

            2.8 Periode Panen

Bab III Materi dan Metode

            3.1 Materi

            3.2 Metoda

Bab IV Hasil dan Pembahasan

            4.1 Pemeliharaan Ayam Broiler

            4.2 Bentuk dan Lokasi Kandang

            4.3 Sanitasi dan Sterilisasi Kandang

            4.4 Penambahan Sekam

            4.5 Vaksinasi

            4.6 Ransum dan Pemenuhan Nutrien

            4.7 Konsumsi Ransum, Pertambahan Berat Badan, dan FCR

            4.8 Analisis Usaha

Bab V Kesimpulan

Daftar pustaka

  

BAB I

PENDAHULUAN

1.      1 Latar belakang

Ayam pedaging merupakan jenis varietas unggul saat ini. Hal ini dikarenakan jenis ayam ini mampu berproduksi 4X lebih cepat dibandingkan jenis ayam kampung. Ayam ras ( ayam pedaging ) dapat dikembangkan secara tradisional maupun sacara modern. Pengembangan tradisional yang dimaksud adalah denga pemeliharaan yang dilakukan sebagai usaha sambilah tanpa memperhitungkan untung rugi dan dalam pemeliharaannya tanpa menggunakan teknologi maju. Sedangkan pengembangan secara modern merupakan sistem  yang aspek pemeliharaannya dilakukan secara intensif meliputi upaya seleksi dalam pemilihan bibit ( DOC ), perkandangan, pakan, vaksin, dan ekonomi.

Sistem pemeliharaan merupakan suatu aspek penting dalam pengembangan usaha ini. Karena dengan pemeliharaan yang baik, pastilah tumbuh kembang ini akan jauh berbeda dengan sistem pemeliharaan yang kurang baik. Perbedaan tersebut akan tampak kelihatan dari hasil akhir ( output ) produksi yang dihasilkan.

Dalam dunia bisnis, memperoleh keuntungan besar dalam waktu cepat merupakan target utama bagi pengelola. Hal ini akan tercapai jika pengelola mampu memanajemen seluruh aspek produksi seefisien mungkin.  

 

1.      2 Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah untuk menambah pengetahuan, pengalaman, dan wawasan dalam tatalaksana pemeliharaan ayam broiler, serta menerapkan ilmu yang diperoleh di perkuliahan dan belajar membekali diri dengan keterampilan untuk tujuan dunia kerja. Selain itu, tujuan praktikum ini yaitu untuk belajar bekerja sama, melatih sikap mandiri, bertanggung jawab, disiplin dan hidup bermasyarakat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.      1 Pengetian Broiler

Broiler adalah ayam pedaging yang dipelihara dengan tujuan pokok untuk dipotong pada umur antara 6 sampai 8 minggu dengan berat hidup sekitar 2 kg ( Wartomo dan astuti, 1993 ). Ayam broiler dipasarkan pada berat 1,3 sampai 1,6 kg per ekor pada umur 5 sampai 6 minggu karena broiler yang terlalu besar susah dijual ( Rasyaf, 2009 ). Selanjutnya, ayam broiler tumbuh optimal pada temperatur lingkungan 19 sampai 21 derajat celsius.

Ayam broiler memiliki kelebihan dan kelemahan, kelebihannya adalah

dagingnya empuk, ukuran badan besar, bentuk dada lebar, padat dan berisi,efisiensi terhadap pakan cukup tinggi, sebagian besar dari pakan diubah menjadi daging dan pertambahan bobot badan sangat cepat sedangkan kelemahannya adalah memerlukan pemeliharaan secara intensif dan cermat, relatif lebih peka terhadap suatu infeksi penyakit dan sulit beradaptasi(Murtidjo,1987). Pertumbuhan yang paling cepat terjadi sejak menetas sampai umur 4-6 minggu, kemudian mengalami penurunan dan terhenti sampai mencapai dewasa (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).

  

            2.2 Pemilihan bibit ( DOC )

            DOC ini sebenarnya berasal dari singkatan ''Day Old Chick'', yang dapat diartikan sebagai anak ayam yang berumur 1 hari. Bibit yang baik mempunyai kriteria sebagai berikut sehat dan aktif bergerak, tubuh gemuk (bentuk tubuh bulat), bulu bersih dan kelihatan mengkilat, hidung bersih, mata tajam dan bersih serta lubang kotoran (anus) bersih  , berat badan 37 g, dan posisi dalam kelompok menyebar. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menambahkan bahwa

kualitas DOC yang dipelihara harus yang terbaik, karena performa yang jelek

bukan saja dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan tetapi juga oleh kualitas DOC

pada saat diterima.

 

            2.3 Perkandangan

            Menurut Zainal abidin (2002) kandang merupakan tempat hidup, tempat berproduksi, dan berfungsi untuk melindungi ayam dari gangguan binatang buas, melindungi ayam dari cuaca yang tidak bersahabat, membatasi ruang gerak ayam, menghindari resiko kehilangan ayam, mempermudah pengawasan, pemberian pakan dan air minum, serta pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.

            Tipe kandang ayam Broiler ada dua, yaitu bentuk panggung dan tanpa panggung (litter). Tipe panggung lantai kandang lebih bersih karena kotoran langsung jatuh ke tanah, tidak memerlukan alas kandang sehingga pengelolaan lebih efisien, tetapi biaya pembuatan kandang lebih besar. Tipe litter lebih banyak dipakai peternak, karena lebih mudah dibuat dan lebih murah.
Pada awal pemeliharaan, kandang ditutupi plastik untuk menjaga kehangatan, sehingga energi yang diperoleh dari pakan seluruhnya untuk pertumbuhan, bukan untuk produksi panas tubuh. Kepadatan kandang yang ideal untuk daerah tropis seperti Indonesia adalah 8-10 ekor/m2, lebih dari angka tersebut, suhu kandang cepat meningkat terutama siang hari pada umur dewasa yang menyebabkan konsumsi pakan menurun, ayam cenderung banyak minum, stress, pertumbuhan terhambat dan mudah terserang penyakit.

            Lokasi kandang dekat dengan sumber air tetapi tidak becek serta sarana transportasi mudah. Menurut Fadilah (2004), lokasi yang dipilih untuk peternakan harus tersedia sumber air yang cukup, terutama pada musim kemarau. Air merupakan kebutuhan mutlak untuk ayam karena kandungan air dalam tubuh ayam bisa mencapai 70%. Jumlah air yang dikonsumsi ayam bergantung pada jenis ayam, umur, jenis kelamin, berat badan ayam dan cuaca.

            Kandang dicuci dengan sprayer tekanan tinggi dari bagian atas, dinding dan tirai, hingga lantai. Proses pencucian ini harus meliputi semua bagian jangan sampai ada bagian yang terlewatkan serta menaburkan atau menyemprotkan kapur

tohor ke bagian dalam, lantai, dan sekeliling luar kandang Fadilah (2004). Rasyaf (2008) menjelaskan lebih lanjut bahwa kandang harus sudah dibersihkan dengan air bersih yang telah dicampur dengan pembunuh kuman/desinfektan. Semua peralatan, termasuk tempat ransum dan tempat minum

 

            2.4 Spesifikasi pakan

            Pakan merupakan 70% biaya pemeliharaan. Pakan yang diberikan harus memberikan zat pakan (nutrisi) yang dibutuhkan ayam, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, sehingga pertambahan berat badan perhari (Average Daily Gain/ADG) tinggi. Pemberian pakan dengan sistem ad libitum (selalu tersedia/tidak dibatasi).

Kandungan nutrien masing-masing bahan penyusun ransum perlu diketahui sehingga tujuan penyusunan ransum dan kebutuhan nutrien untuk setiap

periode pemeliharaan dapat tercapai (Wahju,1992). Penyusunan ransum ayam pedaging memerlukan informasi mengenai kandungan nutrien dari bahan-bahan penyusun sehingga dapat mencukupi kebutuhan nutrien dalam jumlah dan persentase yang diinginkan (Amrullah, 2004). Nutrien tersebut adalah energi, protein, serat kasar, kalsium (Ca) dan fosfor (P).

            Sumber energi utama yang terdapat ransum ayam broiler adalah karbohidrat dan lemak. Energi metabolisme yang diperlukan ayam berbeda, sesuai

tingkat umurnya, jenis kelamin dan cuaca. Semakin tua ayam membutuhkan energi metabolisme lebih tinggi (Fadilah, 2004). Menurut Wahju (1992), energi yang dikonsumsi oleh ayam digunakan untuk pertumbuhan jaringan tubuh, produksi, menyelenggarakan aktivitas fisik dan mempertahankan temperatur tubuh yang normal. Fadilah (2004) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk ayam broiler periode starter 3080 kkal/kg ransum pada tingkat protein 24%, sedangkan periode finisher 3190 kkal/kg ransum pada tingkat protein 21%. Angka

kebutuhan energi yang absolut tidak ada karena ayam dapat menyesuaikan jumlah

rasnsum yang dikonsumsi dengan kebutuhan energi bagi tubuhnya (Rizal, 2006).

            Menurut Fadilah (2004), kandungan protein dalam ransum untuk ayam broiler umur 1-14 hari adalah 24% dan untuk umur 14-39 hari adalah 21%. Kebutuhan protein untuk ayam yang sedang bertumbuh relatif lebih tinggi karena untuk memenuhi tiga macam kebutuhan yaitu untuk pertumbuhan jaringan, hidup pokok dan pertumbuhan bulu (Wahju, 1992). Rasyaf (1992) menyatakan bahwa kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan kebutuhan protein yang mempunyai peranan penting pada pertumbuhan ayam broiler selama masa pertumbuhan.

            Siregar dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa penggunaan serat kasar dalam ransum ayam adalah sebesar 5%. Menurut Wahju (1992), persentase serat kasar yang dapat dicerna oleh ternak ayam sangat bervariasi. Efeknya terhadap penggunaan energi sangat kompleks. Serat kasar yang tidak tercerna dapat membawa nutrien lain yang keluar bersama feses. Anggorodi (1994) menambahkan bahwa kesanggupan ternak dalam mencerna serat kasar tergantung dari jenis alat pencernaan yang dimiliki oleh ternak tersebut dan tergantung pula dari mikroorganisme yang terdapat dalam alat pencernaan. Ternak ayam tidak dapat memanfaatkan serat kasar sebagai sumber energi. Serat kasar ini masih dibutuhkan dalam jumlah kecil oleh unggas yang berperan sebagi bulky, yaitu untuk memperlancar pengeluaran feses (Rizal, 2006). Siregar dan Sabrani (1970)menambahkan, serat kasar yang berlebihan akan mengurangi efisiensi penggunaan nutrien-nutrien lainnya, sebaliknya apabila serat kasar yang terkandung dalam ransum terlalu rendah, maka hal ini juga membuat ransum tidak dapat dicerna dengan baik.

            Kebutuhan anak ayam (starter) akan kalsium (Ca) adalah 1% dan ayam sedang tumbuh adalah 0,6%, sedangkan kebutuhan ayam akan fosfor (P) bervariasi dari 0,2-0,45% dalam ransum (Rizal, 2006). Murtidjo (1987) menambahkan bahwa ransum ternak unggas perlu mengandung mineral Ca dan P dalam jumlah yang cukup. Peranan Ca dalam tubuh ternak unggas tercermin jelas bahwa 70-80% tulang ternak terdiri atas Ca dan P. Siregar dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa Ca dan P adalah mineral esensial, dan keduanya saling berhubungan erat dalam proses biologis ternak ayam. Rasyaf (1994) menambahkan bahwa nisbah Ca dan P antara 1:1 - 2:1. Apabila nisbahnya tidak tepat selanjutnya dapat mempengaruhi penyerapannya.

 

2.5 Vaksinasi

Vaksinasi adalah pemasukan bibit penyakit yang dilemahkan ke tubuh ayam untuk menimbulkan kekebalan alami.Vaksin dibagi menjadi dua yaitu vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung virus hidup. Kekebalan yang ditimbulkan lebih lama daripada vaksin inaktif atau pasif.

 Vaksin inaktif adalah vaksin yang mengandung virus yang telah dilemahkan atau dimatikan tanpa merubah stuktur antigenik, hingga mampu membentuk zat kebal. Kekebalan yang ditimbulkan lebih pendek, tetapi keuntungannya dapat disuntikan pada ayam yang diduga sakit. Adapun persyaratan dalam vaksinasi, ayam harus sehat, dosis dan kemasan vaksin harus cepat, sterilisasi alat alat, lebih efektif  dilakukan pagi hari. Vaksinasi yang penting pada ayam broiler yaitu vaksinasi ND/tetelo.  Disebabkan virus Paramyxo yang bersifat menggumpalkan sel darah. Gejalanya ayam sering megap-megap, nafsu makan turun, diare dan senang berkumpul pada tempat yang hangat. Setelah 1 - 2 hari muncul gejala syaraf, yaitu kaki lumpuh, leher berpuntir dan ayam berputar-putar yang akhirnya mati. Ayam yang terserang secepatnya dipisah, karena mudah menularkan kepada ayam lain melalui kotoran dan pernafasan. Belum ada obat yang dapat menyembuhkan, maka untuk mengurangi kematian, ayam yang masih sehat divaksin ulang dan dijaga agar lantai kandang tetap kering. Dilaksanakan pada umur 4 hari dengan metode tetes mata. Dengan vaksin ND strain B1 dan pada umur 21 hari dengan vaksin ND Lasotta melalui suntikan atau air minum.

           

            2.6 Faktor yang mempengaruhi pemenuhan nutrien

            Program pemberian ransum sangat tergantung terhadap rencana ayam itu dipanen, jika ayam yang akan dipanen berukuran kecil sampai sedang, pemberian ransum menggunakan program dua jenis ransum. Tepung (mash) biasanya diberikan pada anak ayam hingga ayam berumur 2 minggu. Butiran atau remah (crumble) merupakan jenis ransum yang umum digunakan oleh peternak untuk ayam broiler (Fadilah, 2004).

            Menurut Amrullah (2004), semakin mendekati waktu panen, konsumsi energi tersedia dilebihkan sehingga ayam dapat menyimpan padatan lemah bawah kulit dan rongga perutnya. Murtidjo (1987) menambahkan, tinggi atau rendahnya kadar energi metabolis dalam ransum ayam broiler, akan memmpengaruhi banyak

sedikitnya ayam broiler mengkonsumsi ransum.

            Rasio energi-protein ayam broiler akan bertambah sejalan dengan bertambahnya umur ayam. Keadaan ini disebabkan karena semakin tua umur ayam, maka kebutuhan energinya akan lebih banyak, sedangkan kebutuhan proteinnya lebih sedikit. Kebutuhan protein berdasarkan berat badan ayam akan berkurang sejalan dengan bertambahnya umur ayam (Fadilah, 2004). Amrullah (2004) menyatakan bahwa tingkat rasio energi-protein yang lebih tinggi dari kebutuhan dapat membentuk lemak selama akhir pemeliharaan.

            Frekuensi atau waktu pemberian ransum pada anak ayam biasanya lebih sering, sampai 5 kali sehari dan semakin tua ayam frekuensi pemberian ransum semakin berkurang sampai dua atau tiga kali sehari. Namun, yang perlu mendapat perhatian dari segi waktu ini adalah ketepatan waktu pemberian ransum setiap harinya perlu dipertahankan karena pemberian ransum pada waktu yang tidak tepat setiap hari dapat menurunkan produksi (Rizal, 2006). Ransum juga dapat diberikan dengan cara terbatas pada waktu-waktu tertentu dan disesuaikan dengan

kebutuhan ayam, misalnya pagi dan sore. Saat diberikan biasanya ayam dalam keadaan lapar sehingga ransum tidak banyak terbuang (Sudaro dan Siriwa, 2007).

 

2.7 Konversi pakan

Konversi pakan bermanfaat untuk mengukur produktivitas dan didefenisikan sebagai  rasio di antara konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh selama kurun waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan persatuan berat (Lacy & Vest, 2000). Pada minggu ke-0 belum didapat data mengenai konversi pakan karena belum ada data pertambahan bobot badan yang didapat dari bobot badan kedua dikurangi bobot badan pertama. Sehingga kita belum mengetahui konversi pakan minggu ke-0. Pada minggu ke-1 sudah didapat data mengenai bobot badan 1 dan 2 sehingga dapat dicari PBBnya sebesar 16,73 g/ekor/hari. Sedangkan konsumsi minggu ke-1 sebesar 18,09 g/ekor/hari. Sehingga konversi pakan minggu pertama didapat dari konsumsi dibagi Pbb sebesar 1,08. Hasil konversi pakan pada minggu ke-1 menurut NRC sebesar 0,91 tetapi pada kenyataannya angka konversi yang dihitung melebihi dari standar NRC. Pada minggu ke-2 Pbb sebesar 37,14 g/ekor/hari sedangkan konsumsinya sebesar 62,65 g/ekor/hari, sehingga konversi pakan yang didapat sebesar 1,69. Sama halnya dengan konversi minggu ke-2 berdasarkan NRC sebesar 1,15 sedangkan pada kenyataannya konversi yang dihitung melebihi NRC. Semakin tinggi nilai konversi pakan dibandingkan NRC berarti banyaknya pakan yang dikonsumsi tidak semuanya berubah menjadi daging. Menurut Lacy dan Vest (2000) faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, temperatur, ventilasi, sanitasi, kualitas air, pengafkiran, penyakit, dan pengobatan serta manejemen pemeliharaan. Selain itu faktor pemberian pakan, penerangan, dan factor sosial turut mempengaruhi konsumsi ransum.

 

2.8  Periode panen

Jadwal pertama panen biasanya telah ditentukan ketika ayan akan dipelihara (Fadilah, 2005). Selanjutmya, ayam yang akan dipanen harus dikurangi pakannya atau dipuasakan (tidak diberi makan) selama 4 sampai 6 jam sebelum ditangkap agar sisa pakan tidak terlalu banyak (tembolok ayam tidak penuh). Tembolok ayam yang penuh tidak disukai rumah potong ayam (RPA). Ayam harus bebas antibiotik 5 hari hingga 2 minggu sebelum panen tergantung jenis antibiotik.

Jumlah dan ukuran ayam yang akan ditangkap harus sesuai surat permintaan (delivery order) (Fadilah, 2005). Selanjutnya, berat ayam biasanya diklasifikasikan menjadi ukuran kecil (0,8-1,2 kg), sedang (1,3-1,6 kg), besar (lebih dari 1,7 kg). Ayam yang dijual ke RPA harus ditimbang bersama keranjangnya untuk menghindari banyak ayam yang rusak. Timbangan yang dipakai berupa timbangan duduk kapasitas 50 kg. Ayam yang akan ditimbang dimasukan ke keranjang plastik standar (7,8 kg). Kapasitas 1 keranjang bisa diisi 12-15 ekor ayam ukuran kecil atau 8-10 ekor ayam ukuran sedang dan besar. Hasil penimbangan ayam yang ditangkap dicatat secara benar dan jelas pada nota penimbangan.

Kegiatan yang dilakukan pasca panen adalah mengumpulkan peralatan kandang, membersihkan, menghitung pakan yang tersisa, dan menghitung presentasi produksi ayam (Fadilah, 2005). Selanjutnya, peersentasi kematian (deplesi) dapat dihitung : jumlah ayam awal dikurangi jumlah ayam yang dijual dikalikan 100 % kemudian dibagi jumlah ayam awal, rerata berat ayam yang dijual dapat dihitung : total berat ayam yang dijual dibagi dengan total ayam yang dijual, konversi pakan (FCR) dapat dihitung : total pakan yang diberikan dikurangi total pakan sisa dibagi dengan total berat ayam yang dijual,  dan rerata umur panen dapat dihitung : umur ayam yang dipanen dikalikan dengan jumlah ayam yang dijual dibagi dengan total ayam yang dijual


BAB III

MATERI DAN METODE

            Praktikum produksi ternak  unggas ini dilaksanakan pada tanggal 20 oktober 2011 sampai dengan tanggal 23 novenber 2011 selama 30 hari sampai masa panen, bertempat di kandang ternak unggas akademi peternakan brahmapurta.

 

            3.1 Materi

            Adapun alat alat yang digunakan dalam praktikum produksi ternak unggas ini adalah satu kandang ayam potong bertipe panggung semi tertutup, satu gulung lingkar pemanas doc, empat karung sekam, tujuh meter kabel, empat buah saklar gantung, dua buah bolam 40 watt, dua buah bolam 100 watt, satu bolam 15 watt, satu liter formalin, lima meter tali tambang kecil, satu gulung kawat, enam buah tempat minum manual, emapt buah tempat pakan manual, empat buah tempat minum otomatis, empat buah tempat makan gantung, delapan meter selang air, adapun bahan bahan yang digunakan antara lain, satu box doc isi 100 ekor tipe cp 707 produksi PT charoen pokhphand, tiga karung  broiler I (br-I) masing masing karung isi 50 kg, satu karung broiler II( br-II) isi 50 kg produksi PT japfa comfeed Indonesia, seperempat kilogram gula merah, vaksin ND”Medion”, vaksin gumboro” Medion”, vita sterss”Medion”, vita chick”Medion”, therapy”Medion”, vita bro, neobro, vaksin ND lasota”Medion”.

 

            3.2 Metoda

            Dalam praktikum ini data diambil dari partisifasi aktif sehari hari dikandang praktek yang meliputi menimbang bobot badan, memberikan ransum dan air minum untuk ayam, menyiapkan pemanas untuk anak ayam, melakukan vaksinasi, penaburan sekam yang baru, mencatat kandungan nutrien yang terkandung dalam ransum, jumlah ayam yang dipelihara. Konsumsi ransum diperoleh sesuai dengan pemberian karena ransum yang diberikan selalu habis. Pertambahan bobot badan diperoleh dari bobot badan akhir dikurangi dengan bobot badan awal yang diamati tiap minggu, serta analisis usaha.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

            4.1 Pemeliharan ayam broiler

            Pemeliharaan ayam broiler meliputi pemilihan bibit, perkandangan, pemeliharaan, pencegahan penyakit dan pola pemberian ransum. Bibit ayam broiler yang dipelihara dipeternakan tersebut berupa anak ayam umur sehari (DOC) strain Cobb yang berasal dari PT. Charoend Pokphand dengan bobot badan awal rata-rata 35 g/ekor. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Fadilah (2004) yang menyatakan bahwa kegiatan pertama yang harus dilakukan ketika DOC datang adalah memperhatikan dan memeriksa keadaan DOC secara keseluruhan, baik kualitas maupun kuantitasnya. DOC yang berkualitas baik antara lain mempunyai ciri kakinya besar dan basah seperti berminyak, bulu cerah dan penuh, DOC terlihat aktif dan beratnya tidak kurang dari 37 g. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menambahkan bahwa kualitas DOC yang dipelihara harus yang terbaik, karena performa yang jelek bukan saja dipengaruhi oleh faktor pemeliharaan tetapi juga oleh kualitas DOC pada saat diterima.

 

            4.2 Bentuk dan lokasi kandang

           

            Kandang ayam yang digunakan dalam praktikum  ini berupa kandang panggung dengan alas terbuat dari bilah bambu yang lapisi dengan sekam yang sering disebut dengan kandang litter sehingga lantai kandang tidak menyebabkan kaki terluka akibat terjepit bilah bambu dan kaki tidak mengeras. Suprijatna et al. (2005) menyatakan bahwa kandang dengan tipe litter pengelolaannya lebih mudah dan praktis, hemat tenaga dan waktu, lantai kandang relatif tahan lama, lantai tidak mengakibatkan telapak kaki ayam terluka, dan mengeras serta litter merupakan media yang baik untuk mencakar-cakar debu atau mandi debu yang memberikan kenyamanan bagi ayam. Lokasi kandang dekat dengan sumber air tetapi tidak becek serta sarana transportasi mudah. Menurut Fadilah (2004),  lokasi yang dipilih untuk peternakan harus tersedia sumber air yang cukup, terutama pada musim kemarau. Air merupakan kebutuhan mutlak untuk ayam karena kandungan air dalam tubuh ayam bisa mencapai 70%. Jumlah air yang dikonsumsi ayam bergantung pada jenis ayam, umur, jenis kelamin, berat badan ayam dan cuaca.

 

            4.3 Sanitasi dan sterilisasi kandang

 

            Sanitasi dilakukan sebelum dan sesudah pemeliharaan yaitu pada saat kandang kosong selama 2-3 minggu yaitu meliputi pembersihan lantai kandang, dinding dan atap kandang, pengapuran kandang, penyemprotan kandang dengan desinfektan, serta pencucian tempat ransum dan minum. Pengapuran dan desinfektan kandang dengan menggunakan formalin dilakukan satu minggu sebelum DOC tiba. Usaha pencegahan penyakit yang lain adalah senantiasa menjaga kebersihan kandang dan peralatannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2008) yang menyatakan bahwa kandang harus sudah dibersihkan dengan

air bersih yang telah dicampur dengan pembunuh kuman atau desinfektan. Semua peralatan, termasuk tempat ransum dan tempat minum. Fadilah (2004) menjelaskan lebih lanjut, mencuci kandang dengan sprayer tekanan tinggi dari bagian atas, dinding dan tirai, hingga lantai. Proses pencucian ini harus meliputi semua bagian jangan sampai ada bagian yang terlewatkan serta menaburkan atau menyemprotkan kapur tohor ke bagian dalam, lantai, dan sekeliling luar kandang.

 

            4.4 Penambahan sekam

 

            Penambahan sekam baru dilakukan ketika sekam tersebut dirasa sudah lembab, bertujuan untuk mengurangi gas NH3 yang ditimbulkan dari kelembaban yang berlebihan karena gas NH3 dapat mengganggu pernafasan, produktivitas dan

konsumsi ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah (2004), bahwa jenis litter yang sering digunakan adalah sekam dan serbuk gergaji. Litter harus selalu dijaga agar tetap kering dan bersih. Litter yang basah dapat meningkatkan kandungan amonia, menjadi tempat berkembang biak berbagai penyakit, dan menyebabkan bulu kotor. Rasyaf (2008) menyatakan bahwa litter apapun yang digunakan tidak terlepas dari faktor basah penggumpalan sehingga mudah membuat kandang menjadi lembab, sumpek, dan mengundang penyakit.

 

 

            4.5 Vaksinasi

 

Pencegahan penyakit dilakukan dengan pemberian vaksin yaitu ND B1 diberikan pada umur 2 hari dengan dosis 2 tetes per ekor dilakukan pada kedua mata dan hari ke 18 dilakukan vaksin ND Lasota dengan dicampur air minum untuk mencegah penyakit ND (Newcastle disease) atau sering disebut dengan tetelo. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Fadilah (2004) yang menyatakan bahwa vaksin ND diberikan pada ayam umur 4 hari yaitu dengan suntik lansung (subcutan) dan dengan tetes mata. Vaksin gumboro (IBD) juga diberikan pada ayam umur 12 hari dengan mencampurkan pada air minum. Menurut Rasyaf (2008), vaksinasi gumboro (IBD) dilakukan pada saat anak ayam berumur 7-9 hari, yakni melalui pemberian air minum. Selain vaksinasi juga dilakukan pencegahan dengan pemberian vitamin pada air minumanya yaitu dengan vitachick bertujuan untuk mengurangi steres, therapy bertujuan untuk mencegah penyakit kolera, pullorum, CDR, korisa dan membantu pembentukan tulang serta merangsang pertumbuhan, dan neobro bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ayam, mengurangi angka kematian, dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan.

 


            4.6  Ransum dan pemenuhan nutrien

            Ransum yang diberikan pada ternak adalah broiler I dan broiler II, ransum pabrikan ini berbentuk butiran (crumble). Menurut Fadilah (2004), program pemberian ransum sangat tergantung terhadap rencana ayam itu dipanen, jika ayam yang akan dipanen berukuran kecil sampai sedang, pemberian ransum menggunakan program dua jenis ransum.

 

                        Tabel 1. Kandungan nurtisi ransum

           

NUTRIEN RANSUM

Ransum( starter-finisher) comfeed

Standar(starter-finisher)

 

Br I( Minggu I-IV)

Br II(Minggu III-IV)

Minggu I-IV

Em ransum (Kkal/kg)

2900-3100

3000-3200

3200,[Rasyaf(1994)]

Protein ( %)

21-23

19-21

22,[ Siregar dan Sabrani (1970)]

Serat kasar (%)

3-5

3-5

5, [Siregar dan Sabrani (1970)]

Ca (%)

0,9-1,1

0,9-1,1

1,0 [ Siregar dan Sabrani (1970)]

P (%)

0,7-0,9

0,7-0,9

0,6 [ Siregar dan Sabrani (1970)]

 

            Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa kandungan protein, serat kasar, Ca dan P dari ransum yang diberikan dapat dinyatakan memenuhi standar kebutuhan yang ditetapkan. Energi metabolis minggu I sampai IV dengan rata rata Br-I 2900-3100 Kkal/kg dan Br-II 3000-3200 Kkal/kg. Berdasarkan standar yang tercantum dalam tabel sesuai. Fadilah (2004) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk ayam broiler periode starter 3080 kkal/kg ransum pada tingkat protein 24%, sedangkan periode finisher 3190 kkal/kg ransum pada tingkat protein 21%. Angka kebutuhan energi yang absolut tidak ada karena ayam dapat menyesuaikan jumlah ransum yang dikonsumsi dengan kebutuhan energi bagi tubuhnya (Rizal, 2006).

            Protein ransum yang digunakan pada rata rata minggu I sampai IV untuk Br-I 21-23 % dan Br-II 19-21 %. Hak ini sesui dengan tabel 1. Menurut Fadilah (2004), kandungan protein dalam ransum untuk ayam broiler umur 1-14 hari adalah 24% dan untuk umur 14-39 hari adalah 21%. Kebutuhan protein untuk ayam yang sedang tumbuh relatif lebih tinggi karena untuk memenuhi tiga macam

kebutuhan yaitu untuk pertumbuhan jaringan, hidup pokok dan pertumbuhan bulu

(Wahju, 1992). Kebutuhan protein didapat dengan menghitung antara protein yang dibutuhkan untuk hidup pokok, pertumbuhan jaringan dan pertumbuhan bulu.  Kekurangan konsumsi protein tidak menjadi masalah karena diimbangi dengan konsumsi energi yang tinggi sehingga tercapai rasio keseimbangan energi protein memadai dengan efeknya yang terlihat pada pertambahan bobot badan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Rayaf (1992) yang menyatakan bahwa kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan kebutuhan protein, yang mempunyai peranan penting pada pertumbuhan ayam broiler selama masa pertumbuhan. Kebutuhan protein berdasarkan bobot badan ayam akan berkurang sejalan dengan bertambahnya umur ayam (Fadilah, 2004). Amrullah (2004) menyatakan bahwa tingkat rasio energi protein yang lebih tinggi dari kebutuhan mengakibatkan penggunaan energi tidak efisien karena dapat dibentuk lemak pada

akhir pemeliharaan.

            Anggorodi (1994) menyatakan bahwa kesanggupan ternak dalam mencerna serat kasar tergantung dari jenis alat pencernaan yang dimiliki oleh ternak tersebut dan tergantung pula dari mikroorganisme yang terdapat dalam alat

pencernaan. Presentase serat kasar yang dapat dicerna oleh ternak ayam sangat bervariasi. Efeknya terhadap penggunaan energi sangat kompleks. Serat kasar yang tidak tercerna dapat membawa nutrien lain yang keluar bersama ekskreta. (Wahju, 1992). Kandungan serat kasar dalam ransum yang diberikan pada ayam broiler di kandang  selama satu periode sebesar 3-5% (Tabel 1). Ayam mempunyai keterbatasan mencerna serat kasar karena tidak mempunyai enzim selulase sehingga kandungan serat kasar pada kandang tidak menjadi masalah karena sesuai kebutuhan yaitu 5%. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar dan Sabrani (1970) yang menyatakan bahwa penggunaan serat kasar dalam ransum ayam adalah sebesar 5%.

            Siregar dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa serat kasar yang berlebihan dapat mengurangi efisiensi penggunaan nutrien lain, sebaliknya apabila serat kasar ransum terlalu rendah, mengakibatkan ransum tidak dapat dicerna dengan baik. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa konsumsi serat kasar telah sesuai dengan standar kebutuhan. Serat kasar masih dibutuhkan dalam jumlah kecil oleh unggas yang berperanan sebagi bulky, yaitu untuk memperlancar pengeluaran ekskreta (Rizal, 2006).

            Kandungan unsur kalsium (Ca) dan fosfor (P) yang terdapat dalam ransum

ayam broiler dari minggu pertama hingga minggu pertama hingga minggu keempat adalah 0,9% dan 0,6%. Nilai ini dapat dinyatakan sesuai dengan pendapat Rizal (2006) yang melaporkan bahwa kebutuhan anak ayam (starter) akan Ca adalah 1% dan ayam sedang tumbuh adalah 0,6%, sedangkan kebutuhan ayam akan P bervariasi dari 0,2-0,45%. Murtidjo (1987) menambahkan bahwa ransum ternak unggas perlu mengandung mineral Ca dan P dalam jumlah yang cukup. Peranan Ca dalam tubuh ternak unggas tercermin jelas bahwa 70-80% tulang ternak terdiri atas Ca dan P. Tabel tersebut diatas menuunjukkan bahwa konsumsi Ca sudah memenuhi standar kebutuhan sedangkan konsumsi P sesuai dengan kebutuhan. Siregar dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa Ca dan P adalah mineral esensial, dan keduanya saling berhubungan erat dalam proses biologis ternak ayam. Menurut Rasyaf (1994), bahwa nisbah kalsium dan fosfor antara 1:1 - 2:1. Apabila nisbahnya tidak tepat selanjutnya dapat mempengaruhi penyerapan.

 

 

            4.7 Konsumsi ransum, pertambahan berat badan, dan FCR

            Ransum yang diberikan berupa ransum jadi yaitu broiler-I dan broiler-II yang berbentuk butiran berasal dari PT. Japfa Comfeed Indonesia. Ransum broiler-I diberikan pada periode starter minggu pertama, sedangkan untuk minggu ketiga diberikan ransum broiler-II. Penggantian pemberian ransum ini secara bertahap melalui pencampuran dengan ransum sebelumnya(broiler-I). Hal ini dilakukan supaya ayam tidak kaget terhadap penggantian ransum dan tidak terjadi penurunan konsumsi yang dikhawatirkan dapat menghambat laju pertumbuhan ayam. Menurut Sudaro dan Siriwa (2007), pemberian ransum dapat dilakukan dengan cara bebas maupun terbatas. Cara bebas, ransum disediakan ditempat ransum sepanjang waktu agar saat ayam ingin makan ransumnya selalu tersedia. Cara ini ransum biasanya disajikan dalam bentuk kering, baik tepung, butiran, maupun pelet. Penggantian ransum starter dengan ransum finisher sebaiknya tidak dilakukan sekaligus, tetapi secara bertahap.

            Pemberian ransum pada minggu pertama sebanyak delapan kali dalam sehari dan berangsur-angsur berkurang hingga minggu keempat yaitu dua kali dalam sehari. Frekuensi pemberian ransum tersebut sudah baik, menurut Rizal (2006), pada anak ayam biasanya frekuensi atau waktu pemberian ransum lebihsering, sampai 5 kali sehari dan semakin tua ayam frekuensi pemberian ransum semakin berkurang sampai dua atau tiga kali sehari. Hal yang perlu mendapat perhatian dari segi waktu ini adalah ketepatan waktu pemberian ransum setiap harinya perlu dipertahankan karena pemberian ransum pada waktu yang tidak tepat setiap hari dapat menurunkan produksi. Ransum juga dapat diberikan dengan cara terbatas pada waktu tertentu dan disesuaikan dengan kebutuhan ayam, misalnya pagi dan sore (Sudaro dan Siriwa, 2007). Waktu pemberian ransum dipilih saat yang tepat dan nyaman sehingga ayam dapat makan dengan baik dan tidak banyak ransum yang terbuang.

            Semakin bertambahnya umur, kualitas ransum terutama kandungan protein dapat diturunkan namun tidak mengganggu konsumsi ransum. Menurut Rasyaf (1994), ransum merupakan sumber utama kebutuhan nutrien ayam broiler untuk keperluan hidup pokok dan produksinya karena tanpa ransum yang sesuai dengan yang dibutuhan menyebabkan produksi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menyatakan bahwa ayam mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energi, sebelum kebutuhan energinya terpenuhi ayam akan terus makan. Jika ayam diberi ransum dengan kandungan energi rendah maka ayam makan lebih banyak. Dibawah ini adalah (Tabel 2) data mengenai konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi pakan. (gram/ekor/minggu)

 

Praktikum

Standar majalah Poultry

Minggu

BB

Konsumsi

FCR

I

155

148,9

0,96

II

430

489, 2

1,13

II

851

1098,9

1,29

IV

1600

2500

1,56

BB

Konsumsi

FCR

175

150

0,85

486

512

1,05

932

1167

1,25

1467

2105

1,43

 

            Tingkat konsumsi yang tinggi pada minggu pertama dan rendahnya pertambahan bobot badan tidak sesuai dengan standar. Ini dikarenakan nutrien yang masuk masih digunakan untuk perkembangan organ pencernaan, belum untuk pembentukan daging sehingga berpengaruh terhadap nilai konversi ransumnya. Berbeda dengan minggu kedua hingga minggu keempat konsumsi lebih tinggi dan semakin meningkat jauh diatas standar namun diiringi pula dengan pertambahan bobot badan yang tinggi. Kondisi ini menyebabkan nilai konversi ransum sesuai dengan standar yang ada. Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), konversi ransum didefinisikan sebagai banyaknya ransum yang

dihabiskan untuk menghasilkan setiap kilogram pertambahan bobot badan. Angka

konversi ransum yang kecil berarti banyaknya ransum yang digunakan untuk menghasilkan satu kilogram daging semakin sedikit. Pertumbuhan ayam pada minggu kedua mulai berjalan cepat karena organ pencernaan sudah terbentuk, sehingga sebagian ransum yang dikonsumsi digunakan untuk produksi. Hal ini juga berkaitan dengan rasio energi dan protein. Rasio energi protein yang dikonsumsi lebih tinggi dari yang dibutuhkan dan tiap minggu semakin meningkat, hal ini berarti bahwa energi yang tersedia dalam ransum lebih tinggi. Fenomena tersebut sesuai dengan pendapat Fadilah (2004) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum setiap minggu bertambah sesuai dengan pertambahan bobot badan. Setiap minggu ayam mengonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Menurut Rasyaf (1994), konsumsi ransum ayam broiler merupakan cermin dari masuknya sejumlah unsur nutrien kedalam tubuh ayam. Jumlah yang masuk ini harus sesuai dengan yang dibuthkan

untuk produksi dan untuk hidupnya. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan pada ayam broiler dimulai dengan perlahanlahan

kemudian berlangsung cepat sampai dicapai pertumbuhan maksimum setelah itu menurun kembali hingga akhirnya terhenti.

 

            4.8 Analisis usaha

            Tabel 1. Perhitungan produksi broiler

 

Uraian

Jumlah

Jumlah Biaya(Rp)

1

DOC (ekor)

100

235.000

2

Pakan (Kg)

2000

1.028. 000

3

Obat dan vaksin

 

117.000

4

Biaya operasional

 

56.000

 

 

 

Total

1.436.000

 

            Tabel 2. Perhitungan laba rugi usaha ayam broiler komersial

NO

Uraian

Jumlah

 

Pendapatan

 

1.

Penjualan Ayam

1.779.000

 

Total pendapatan

1.779.000

 

Biaya yang dikeluarakan

 

1.

DOC (ekor)

235.000

2.

Pakan (kg)

1.028.000

3.

Obat dan Vaksin

117.000

4.

Biaya Operasional

56.000

 

Total biaya

1.436.000

 

Laba Rugi kotor

343.000

 

BAB V

KESIMPULAN

            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan bahwa mahasiswa menggunakan DOC tipe cobb cp 707 produksi PT. Charoen Phokpand Indonesia, pakan menggunakan broiler-I dan broiler-II produksi PT. Japfa Comfeed, dipanen pada umur 30 hari dengan konversi pakan sebesar 1,56 dan bobot akhir rata rata 1600gram, dengan harga jual 13.000/kg, tetapi kematian mencapai 11% ini dikarenakan litter basah(tempat minum kurang tinggi) dan tempat makan kurang sehingga ayam kelaparan.

            Untuk kandungan energi, protein, serat kasar, kalsium (Ca) dan fosfor (P) dapat dinyatakan sudah memenuhi standar. Konsumsi ransum tinggi tetapi pertambahan bobot badan juga tinggi sehingga angka konversi ransum tetap baik.

 

 

Daftar pustaka

 

Amrulah, Ibnu Katsir. 2004. Nutrien Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi.

 Bogor

Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas

 PT. Gramedia. Jakarta

Fadilah, R. 2004. Ayam Broiler Komersial. Agromedia Pustaka. Jakarta

Kartasudjana, R dan Edjeng S. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar

 Swadaya. Jakarta

Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius. Yogyakarta

Sudaro, Yani dan Anita Siriwa. 2007. Ransum Ayam dan Itik. Cetakan IX.

 Penebar Swadaya. Jakarta

Suprijatna, E. Umiyati, A. Ruhyat, K. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar

 Swadaya. Jakarta

Rasyaf, M. 1992. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius.

 Yogyakarta

Rasyaf, M. 1994. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta

Rizal, Yose. 2006. Ilmu Nutrien Unggas. Andalas University Press. Padang

Siregar, A.P., dan M. Sabrani. 1970. Teknik Modern Beternak Ayam. C.V.

 Yasaguna. Jakarta

Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrien Unggas. Cetakan III. Gadjah Mada University

 Press. Yogyakarta

Poultry Indonesia Edisi Online.2006. Standar performan mingguan CP broiler.

  Majalah   Poultry Indonesia. Jakarta

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar